Pages

Selasa, 14 Juni 2011

Kesetiaan




Sering kita dengar pertanyaan tentang arti dari  sebuah  kesetiaan…..

Cerita hari ini  adalah tentang, kesetiaan…bukan sosok manusia pelakunya, namun seekor  anjing, sampai termehek-mehek  kami  sekeluarga menyaksikannya, seekor  anjing yang  bernama HOCHIKO begitu setianya menunggui  tuannya pulang kerja, yang dia lakukan hanya menunggu terus sampai tuannya muncul, tak peduli waktu..,(anjing kan tidak mengerti waktu..he he)…sampai Sembilan tahun ia menunggu duduk di sebuah taman di jepang, (sekarang di abadikan dalam bentuk patung anjing ditaman tsb).

Begitu besarnya arti kesetiaan bagi seekor anjing yang tidak di karunia akal oleh ALLOH, ternyata mengerti bagaimana ia bersikap, berperilaku layaknya  orang  yang sudah berhasil menemukan cara untuk setia, dengan kesabaran akan tumbuh kesetiaan.

 “kesabaran tapi tanpa tahu apa-apa..,?, tanpa tahu bila tuannya tsb sudah meninggal..,?”, yaa..itulah yang terjadi ..karena binatang tidak di beri akal, ia tidak tahu apa sabar,apa itu menunggu, ia tidak  mencari tahu apa yang terjadi “kenapa yang di tunggu tidak datang, tak juga dapat mengambil sikap, apa yg harus dilakukannya bila ternyata yang ditunggu tidak ada..? ia hanya mempunyai insting untuk menunggu terus…
Dapat kami petik sebuah pelajaran dalam cerita tsb, bahwa  kita sebagai manusia,hamba ALLOH dengan kelebihan akal fikiran, terkadang kesulitan dalam mewujudkan makna kata setia,hanya sebatas teori yang mudah di tulis dan di ingat dalam pikiran tapi sulit mempraktekkannya,  kita hanya tahu bahwa setia itu adalah:

Janji dalam hati, dari hati yang paling dalam, dilakukan dengan keikhlasan, tidak ada tekanan, paksaan,  tidak mengkhianati mengecewakan, melupakan orang  yang kita sayangi.

 Dan ilmu Ikhlas untuk setia, sabar menunggu tak kenal waktu, wujud cinta yang sesungguhnya  inilah yang sudah berhasil  di praktekkan oleh seekor anjing Hochiko sebuah cerita nyata dari jepang.


‘Kenapa ia setia menunggu?’...jawabnya: selain ia tidak berakal.., karena ia juga tidak punya ambisi, keinginan yang macam-macam layaknya manusia yang masih memikirkan masa depan, sedangkan binatang hanya memikirkan saat ini saja, binatang yang baik akan mengerti  bagaimana bersikap baik pada tuannya dan bagaimana ia bersikap setia tanpa pamrih ( mengerti ilmu ikhlas tidak memikirkan tempat tinggal,pakai baju apa nanti,  tidak memikirkan apakah hari ini ia dapat makan atau tidak, sudah mandi apa belum, bagaiman orang akan memandang nya)…

Yach.., yang namanya binatang tentunya hal ini tdk ada dalam pikirannya sebab memang binatang tidak punya otak namun dapat melebihi manusia dalam keberhasilannya memberi contoh bagaimana harus bersikap setia, bagaimana ia berhasil membuat semua orang yang melihat perilakunya dapat menangis termehek-mehek. 
Dengan adanya reflek tangisan, berarti hati sudah tersentuh dengan perbuatannya, perilakunya, meski anjing tsb tidak tahu kenapa ia bersikap seperti itu yaitu terus menunggu…

Sampai saat ini jarang kita temui  seseorang yang mampu bersikap setia tanpa pamrih, yang ada rasa egois tiba-tiba muncul apabila merasa kecewa, tersakiti, terhina, tidak terima…di perlakukan seperti yang tidak sesuai harapan/keinginan kita, ini manusiawi sekali .. sebab manusia memang mempunyai hawa nafsu, akal fikiran, hati.  Sedangkan binatang hanya mempunyai hawa nafsu dan insting saja, tidak punya cita-cita dan harapan karena memang tidak punya akal, makanya binatang mampu mempraktekkan wujud kesetiaan sebab didalam dirinya tidak ada keinginaan sama sekali selain apa yang sudah di ajarkan tuannya bagaimana bersikap setia, tuannya mengajarinya  tanpa berkata tapi memberi contoh langsung dengan penuh cinta, imbal baliknya  meski mempunyai resistensi rendah tapi binatang mampu menangkap dan  menggambarkan bagaimana bentuk cinta yang sesungguhnya yaitu kesetiaan, seperti yang sudah kita saksikan dalam film tsb.

Cukup sekian.. cerita hari ini semoga menambah pengetahuan kita tentang bentuk dari cinta serta kesetiaan yang hakiki…
Sebagai manusia yang di ciptakan Alloh dengan segala kesempurnaan di banding makhluk ciptaan NYA yang lain, tidak ada cinta Abadi terhadap sesama atau makhluk lain, cepat atau lambat salah satu dari kita akan pergi meninggalkan kita, cinta Abadi hanyalah  mencitai Tuhan kita  ALLOH SWT. Dan  merindukan Rosullulloh yang tidak pernah kita jumpai tapi perilakunya menggambarkan sosok hamba ALLOH yang telah berhasil mewujudkan cinta kepada sesama tanpa pamrih, penuh keikhlasan.

Tidak mengharapkan apa-apa selain seluruh umatnya mesuk surga  dengan syafaatnya. meski umatnya  tidak pernah dilihatnya, dengan tulus Beliau mencintai kita, terbukti sebelum wafatnya beliau memikirkan Umatnya. “ummati…Ummati”… begitu yang di ucapkan, bukan keluargaku..,sahabatku.., istriku….dst.



“ Ihdinassirotol mustaqiim, syirotolladhina an’amta ‘alaihim……..” berjalanlah di jalan yang lurus jalannya orang-orang yang telah dikaruniai nikmat.” Begitu firman Alloh..jalannya orang yang telah menemukan cinta dan kesetiaan yang abadi, bagaimana harus menjalani hidup di Dunia menuju keabadian Akherat. Amiin ya Robbal’alamin……


HACHIKO II
Lahir 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Oshinai-go, namanya sewaktu kecil adalah Hachi. Pemiliknya adalah keluarga Giichi Saito dari kota Odate, Prefektur Akita. Lewat seorang perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing jenis Akita Inu. Ia dimasukkan ke dalam anyaman jerami tempat beras sebelum diangkut dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Odate, 14 Januari 1924. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 jam, Hachi sampai di Stasiun Ueno, Tokyo. 


Hachi menjadi anjing peliharaan Profesor Hidesaburo Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Profesor Ueno waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun. Profesor Ueno adalah pecinta anjing. Sebelum memelihara Hachi, Profesor Ueno pernah beberapa kali memelihara anjing Akita Inu, namun semuanya tidak berumur panjang. Di rumah keluarga Ueno yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya, Hachi dipelihara bersama dua ekor anjing lain, S dan John. Sekarang, lokasi bekas rumah keluarga Ueno diperkirakan di dekat gedung Tokyo Department Store sekarang.

 
Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Di pagi hari, bersama S dan John, Hachi kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput.

Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia. Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, upacara tsuya (jaga malam untuk orang meninggal) dilangsungkan pada malam hari 25 Mei 1925. Hachi masih tidak mengerti Profesor Ueno sudah meninggal. Ditemani John dan S, ia pergi juga ke stasiun untuk menjemput majikannya.

Nasib malang ikut menimpa Hachi karena Yae harus meninggalkan rumah almarhum Profesor Ueno. Yae ternyata tidak pernah dinikahi secara resmi. Hachi dan John dititipkan kepada salah seorang kerabat Yae yang memiliki toko kimono di kawasan Nihonbashi. Namun cara Hachi meloncat-loncat menyambut kedatangan pembeli ternyata tidak disukai. Ia kembali dititipkan di rumah seorang kerabat Yae di Asakusa. Kali ini, kehadiran Hachi menimbulkan pertengkaran antara pemiliknya dan tetangga di Asakusa. Akibatnya, Hachi dititipkan ke rumah putri angkat Profesor Ueno di Setayaga. Namun Hachi suka bermain di ladang dan merusak tanaman sayur-sayuran.

Pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi yang menjadi tukang kebun bagi keluarga Ueno. Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya.

Pada tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikan di stasiun mengundang perhatian Hirokichi Saito dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang. Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saito menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya roken monogatari ("Kisah Anjing Tua yang Tercinta"). Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikan. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya. Sejak itu pula, akhiran ko (sayang) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan orang memanggilnya Hachiko.

Sekitar tahun 1933, kenalan Saito, seorang pematung bernama Teru Ando tersentuh dengan kisah Hachiko. Ando ingin membuat patung Hachiko. Setiap hari, Hachiko dibawa berkunjung ke studio milik Ando untuk berpose sebagai model. Ando berusaha mendahului laki-laki berumur yang mengaku sebagai orang yang dititipi Hachiko. Orang tersebut menjual kartu pos bergambar Hachiko untuk keuntungan pribadi. Pada bulan Januari 1934, Ando selesai menulis proposal untuk mendirikan patung Hachiko, dan proyek pengumpulan dana dimulai. Acara pengumpulan dana diadakan di Gedung Pemuda Jepang (Nihon Seinenkan), 10 Maret 1934. Sekitar tiga ribu penonton hadir untuk melihat Hachiko.

Patung perunggu Hachiko akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachiko bersama sekitar 300 hadirin. Ando juga membuat patung lain Hachiko yang sedang bertiarap. Setelah selesai pada 10 Mei 1934, patung tersebut dihadiahkannya kepada Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kojun.

Selepas pukul 06.00 pagi, tanggal 8 Maret 1935, Hachiko, 13 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya. Hachiko biasanya tidak pernah pergi ke sana. Berdasarkan otopsi diketahui penyebab kematiannya adalah filariasis.

Upacara perpisahan dengan Hachiko dihadiri orang banyak di Stasiun Shibuya, termasuk janda almarhum Profesor Ueno, pasangan suami istri tukang kebun Kobayashi, dan penduduk setempat. Biksu dari Myoyu-ji diundang untuk membacakan sutra. Upacara pemakaman Hachiko berlangsung seperti layaknya upacara pemakaman manusia. Hachiko dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian luar tubuh Hachiko diopset, dan hingga kini dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Ueno, Tokyo.


Wassalamu’alaikum wr..,wb..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar